Di Propinsi
Zhejiang China, ada seorang anak laki-laki yang luar biasa, sebut saja namanya
Zhang Da. Perhatiannya yang besar kepada Papanya, hidupnya yang pantang
menyerah dan mau bekerja keras, serta tindakan dan perkataannya yang menyentuh hati
membuat Zhang Da, anak lelaki yang masih berumur 10 tahun ketika memulai semua
itu, pantas disebut anak yang luar biasa. Saking jarangnya seorang anak yang
berbuat demikian, sehingga ketika Pemerintah China mendengar dan menyelidiki
apa yang Zhang Da perbuat maka merekapun memutuskan untuk menganugerahi
penghargaan Negara yang Tinggi kepadanya. Zhang Da adalah salah satu dari
sepuluh orang yang dinyatakan telah melakukan perbuatan yang luar biasa dari
antara 1,4 milyar penduduk China. Tepatnya 27 Januari 2006 Pemerintah China, di
Propinsi Jiangxu, kota Nanjing, serta disiarkan secara Nasional keseluruh
pelosok negeri, memberikan penghargaan kepada 10 (sepuluh) orang yang luar
biasa, salah satunya adalah Zhang Da.
Mengikuti
kisahnya di televisi, membuat saya ingin menuliskan cerita ini untuk melihat
semangatnya yang luar biasa. Bagi saya Zhang Da sangat istimewa dan luar biasa
karena ia termasuk 10 orang yang paling luar biasa di antara 1,4 milyar
manusia. Atau lebih tepatnya ia adalah yang terbaik diantara 140 juta manusia.
Tetapi jika kita melihat apa yang dilakukannya dimulai ketika ia berumur 10
tahun dan terus dia lakukan sampai sekarang (ia berumur 15 tahun), dan
satu-satunya anak diantara 10 orang yang luarbiasa tersebut maka saya bisa
katakan bahwa Zhang Da yang paling luar biasa di antara 1,4 milyar penduduk
China.
Pada waktu
tahun 2001, Zhang Da ditinggal pergi oleh Mamanya yang sudah tidak tahan hidup
menderita karena miskin dan karena suami yang sakit keras. Dan sejak hari itu
Zhang Da hidup dengan seorang Papa yang tidak bisa bekerja, tidak bisa
berjalan, dan sakit-sakitan. Kondisi ini memaksa seorang bocah ingusan yang
waktu itu belum genap 10 tahun untuk mengambil tanggungjawab yang sangat berat.
Ia harus sekolah, ia harus mencari makan untuk Papanya dan juga dirinya
sendiri, ia juga harus memikirkan obat-obat yang yang pasti tidak murah untuk
dia. Dalam kondisi yang seperti inilah kisah luar biasa Zhang Da dimulai. Ia
masih terlalu kecil untuk menjalankan tanggung jawab yang susah dan pahit ini.
Ia adalah salah satu dari sekian banyak anak yang harus menerima kenyataan
hidup yang pahit di dunia ini. Tetapi yang membuat Zhang Da berbeda adalah
bahwa ia tidak menyerah.
Hidup harus
terus berjalan, tapi tidak dengan melakukan kejahatan, melainkan memikul
tanggung jawab untuk meneruskan kehidupannya dan papanya. Demikian ungkapan
Zhang Da ketika menghadapi utusan pemerintah yang ingin tahu apa yang
dikerjakannya. Ia mulai lembaran baru dalam hidupnya dengan terus bersekolah.
Dari rumah sampai sekolah harus berjalan kaki melewati hutan kecil. Dalam
perjalanan dari dan ke sekolah itulah, Ia mulai makan daun, biji-bijian dan
buah-buahan yang ia temui. Kadang juga ia menemukan sejenis jamur, atau rumput
dan ia coba memakannya. Dari mencoba-coba makan itu semua, ia tahu mana yang
masih bisa ditolerir oleh lidahnya dan mana yang tidak bisa ia makan. Setelah
jam pulang sekolah di siang hari dan juga sore hari, ia bergabung dengan
beberapa tukang batu untuk membelah batu-batu besar dan memperoleh upah dari pekerjaan
itu. Hasil kerja sebagai tukang batu ia gunakan untuk membeli beras dan
obat-obatan untuk papanya. Hidup seperti ini ia jalani selama lima tahun tetapi
badannya tetap sehat, segar dan kuat.
ZhangDa
Merawat Papanya yang Sakit. Sejak umur 10 tahun, ia mulai tanggungjawab untuk
merawat papanya. Ia menggendong papanya ke WC, ia menyeka dan sekali-sekali
memandikan papanya, ia membeli beras dan membuat bubur, dan segala urusan
papanya, semua diakerjakan dengan rasa tanggungjawab dan kasih. Semua pekerjaan
ini menjadi tanggungjawabnya sehari-hari. Zhang Da menyuntik sendiri papanya.
Obat yang mahal dan jauhnya tempat berobat membuat Zhang Da berpikir untuk
menemukan cara terbaik untuk mengatasi semua ini. Sejak umur sepuluh tahun ia
mulai belajar tentang obat-obatan melalui sebuah buku bekas yang ia beli. Yang
membuatnya luar biasa adalah ia belajar bagaimana seorang suster memberikan
injeksi/suntikan kepada pasiennya. Setelah ia rasa ia mampu, ia nekad untuk
menyuntik papanya sendiri. Saya sungguh kagum, kalau anak kecil main
dokter-dokteran dan suntikan itu sudah biasa. Tapi jika anak 10 tahun
memberikan suntikan seperti layaknya suster atau dokter yang sudah biasa
memberi injeksi saya baru tahu hanya Zhang Da. Orang bisa bilang apa yang
dilakukannya adalah perbuatan nekad, sayapun berpendapat demikian. Namun jika
kita bisa memahami kondisinya maka saya ingin katakan bahwa Zhang Da adalah
anak cerdas yang kreatif dan mau belajar untuk mengatasi kesulitan yang sedang
ada dalam hidup dan kehidupannya. Sekarang pekerjaan menyuntik papanya sudah
dilakukannya selama lebih kurang lima tahun, maka Zhang Da sudah trampil dan
ahli menyuntik.
Aku Mau Mama
Kembali. Ketika mata pejabat, pengusaha, para artis dan orang terkenal yang
hadir dalam acara penganugerahan penghargaan tersebut sedang tertuju kepada
Zhang Da, Pembawa Acara (MC) bertanya kepadanya, “Zhang Da, sebut saja kamu mau
apa, sekolah di mana, dan apa yang kamu rindukan untuk terjadi dalam hidupmu,
berapa uang yang kamu butuhkan sampai kamu selesai kuliah, besar nanti mau
kuliah di mana, sebut saja. Pokoknya apa yang kamu idam-idamkan sebut saja, di
sini ada banyak pejabat, pengusaha, orang terkenal yang hadir. Saat ini juga
ada ratusan juta orang yang sedang melihat kamu melalui layar televisi, mereka
bisa membantumu!” Zhang Da pun terdiam dan tidak menjawab apa-apa. MC pun
berkata lagi
kepadanya, “Sebut saja, mereka bisa membantumu” Beberapa
menit Zhang Da masih diam, lalu dengan suara bergetar iapun menjawab, “Aku Mau
Mama Kembali. Mama kembalilah ke rumah, aku bisa membantu Papa, aku bisa cari
makan sendiri, Mama Kembalilah!” demikian Zhang Da bicara dengan suara yang
keras dan penuh harap.
Saya bisa
lihat banyak pemirsa menitikkan air mata karena terharu, saya pun tidak
menyangka akan apa yang keluar dari bibirnya. Mengapa ia tidak minta kemudahan
untuk pengobatan papanya, mengapa ia tidak minta deposito yang cukup untuk
meringankan hidupnya dan sedikit bekal untuk masa depannya, mengapa ia tidak
minta rumah kecil yang dekat dengan rumah sakit, mengapa ia tidak minta sebuah
kartu kemudahan dari pemerintah agar ketika ia membutuhkan, melihat kata belece
yang dipegangnya semua akan membantunya. Sungguh saya tidak mengerti, tapi yang
saya tahu apa yang dimintanya, itulah yang paling utama bagi dirinya. Aku Mau
Mama Kembali, sebuah ungkapan yang mungkin sudah dipendamnya sejak saat melihat
mamanya pergi meninggalkan dia dan papanya.
Cerpen
Manusia dan Pandangan Hidup
Sore yang
indah, ditemani oleh bunyi ombak dan semilir angin yang kian beriringan dengan
suara daun kelapa yang tak mau berhenti untuk melambai. Suasana tenang disini
setidaknya dapat mengurangi rasa penatku. Kudengar decitan kursi roda yang
makin lama kian mendakatiku. Kulihat sosok yang memang akhir-akhir ini sering
bersamaku di tempat ini. Aku sangat bingung jika melihat ekspresi wajahnya
terkadang dia terlihat sangat tenang dan terkadang dia terlihat datar.
“Apa hari ini kau baik-baik saja?” tanyaku padanya karena
memang dia adalah sosok yang sangat sulit ditebak, bukannya jawaban yang
kudapat tapi hanya senyum kecil yang mengembang di bibirnya. Aku semakin
bingung dengan semua tingkahnya, sangat aneh bagiku karena memang dia sosok
yang pendiam tak banyak kata yang dia lontarkan untukku.
“Disini sangat tenang, aku menyukainya” ucapku menceracau
sendiri, inilah kebiasaanku setiap bertemu dengannya meskipun tak ada satupun
respon darinya tapi aku tahu bahwa dia mendengarkanku dan mengerti apa yang ku
mau.
“Hari ini sama seperti hari-hariku sebelumnya, tak ada yang
istimewa ataupun terkesan semuanya sama dan kau tau bukan hariku selalu
berakhir disini bersama senja, berakhir dengan gambar-gambar yang hanya bisa
menemani sesaat” ucapku padanya, dia menoleh dan tersenyum padaku.
“Mengapa kau selalu berkata bahwa hari ini selalu sama
seperti hari kemarin?” ujarnya lembut tapi terkesan sangat dingin.
“ya, karena menurutku semuanya sama, tak ada apapun yang
berkesan” jawabku tanpa menatapnya.
“Itu semua karena ulahmu sendiri yang tak pernah mau tau kan
indahnya kehidupan” Ujarnya seraya menatapku. Entah angin dari mana yang telah
membawanya untuk bercakap denganku, biasanya hanya aku yang berbicara sendiri.
“Aku?” tanyaku seraya membenarkan posisi dudukku untuk menghadapnya.
Jujur aku paling tak suka disalahkan atas kekejaman dunia karena menurutku tak
ada yang salah pada diriku hanya saja dunia ini yang terlalu kejam untuk
kupijaki.
“ya, dirimu sendiri” ucapnya menatapku, aku mendongakkan
kepalaku dan mengernyitkan dahi atas pernyataannya.
“Apa yang salah denganku? Aku hanya ingin hidup bahagia di
dunia yang kejam ini tapi nyatanya semua sama saja kan? Tak ada yang indah”
ucapku sedikit emosi karena bisa-bisanya dia menyalahkanku.
“Gracia, sekarang coba kamu fikir apa yang telah kamu perbuat
atas kehidupan kamu? Apa kamu merasa bahagia dengan itu semua?” tanyanya lagi
dan semakin manatapku intens. Sepertinya dia benar-benar lelah mendengarkan
ucapan yang sama selalu terlontar dari bibirku.
“ya, karena menurutku itu yang terbaik Rey” suaraku sedikit
meninggi kali ini karena memang telingaku semakin panas karena perkataannya.
“Berarti, kau belum mengenali dirimu sendiri” ujarnya santai
seraya melempar pandang pada laut lepas yang meyajikan pertunjukan yang sangat
sayang untuk dilewatkan.
“Mengenali diri sendiri? Bukankah kita hidup untuk mnegenali
orang lain?” tanyaku semakin menjadi.
“Seharusnya..” dia menghela nafas sebelum melanjutkan
perkataannya,
“Seharusnya apa?” ucapku penasaran dengan apa yang akan dikatakannya
“Seharusnya, sebelum kau ingin tahu siapa orang lain, kau
harus bisa mengenali siapa dirimu? Sehingga kau dengan mudah menyesuaikan
dengan siapa kau harus tahu? Apa yang bisa membuatmu bahagia? Keinginan apa
yang benar-benar ingin kamu miliki?” ucapnya dengan tatapan datar dan tetap
lurus menghadap ombak. “Apa kau memiliki cita-cita?” tanyanya kemudian.
“Ada, bukankah kita hidup untuk mencapai cita-cita? Dan itu
yang bisa buat kita bangga bukan?” tanyaku penuh selidik.
“Apa yang kau ketahui tentang cita-cita?” tanyanya lagi.
Entah, sekarang aku tak merasa emosi ketika dia berbicara jika difikir benar
juga, dunia akan kejam jika kita tak pandai menyesuaikannya.
“Cita-cita? Itu sebuah harapan yang menujukan dirinya untuk
menjadi seseorang yang dia ingini” jawabku menatapnya. “Seperti?” tanyanya lagi
“Seperti menjadi guru, dokter, author, fotographer, ya
pokoknya yang berhubungan dengan profesi” ujarku santai.
“Kurang tepat” ucapnya seraya melempar pandangan dan senyum
kepadaku.
“Salah lagi? Kenapa ucapanku tak ada satupun yang benar di
telingamu” ucapku sebal.
“aku kan tidak mengatakan bahwa kau salah, tapi aku berkata
kau kurang tepat Gracia” ujarnya seraya mencubit pipiku dengan gemas.
“Sama saja Rey” ujarku. “Ikut aku” ucapnya mengajakku untuk
ke suatu tempat.
“Nanti saja aku masih ingin mengabadikan senja disini” ucapku
dengan nada memohon.
“Tidak, sudah cukup kau mengabadikannya sejak minggu kemarin,
apa kau tak kasian melihat kameramu yang jengah karena kau selalu menyuruhnya
untuk mnegabadikan senja” ujarnya seraya menarik pergelangan tanganku untuk
mendorong kursi rodanya.
“ok” ucapku pasrah. Entah akan dibawanya kemana diriku ini,
aku hanya mengikuti instruksinya saat berjalan, memang selama perjalanan tak
ada obralan penting hanya saja cuap-cuap yang menunjukkan jalan untuk ke tempat
yang akan dia tunjukkan padaku.
“Sampai” ujarnya. Rumah yang tak terlalu mewah tapi berukuran
cukup besar yang telah ada di hadapanku sekarang. Jujur, aku sangat bingung
banyak sekali orang yang menghuni tempat ini. Tapi disini ada yang berbeda,
Ya.. hampir semua orang yang tinggal disini adalah mereka-mereka yang tidak
seberuntung diriku.
“Mereka siapa mengapa banyak sekali yang menghuni tempat
ini?” Tanyaku seraya menjajari posisinya yang tengah ada di kursi roda
miliknya.
“ayo, akan kutunjukkan kau betapa banyak cita-cita yang ada
disini bukan hanya sekedar profesi belaka” ucapnya seraya menjalankan kursi
rodanya. Aku segera bangkit dan menyusulnya, tak jarang dia disapa oleh
penghuni disini. Sungguh, aku tak kuasa berada di tempat ini. Hidup dengan
banyak kekurangan tapi mereka masih bisa bertahan hanya itu yang sedari tadi
mengelilingi otakku.
Di sepanjang
perjalananku mengelilingi rumah ini, Rey banyak bercerita tentang Rista yang tunanetra
tapi dia berusaha untuk mengahafal semua yang pernah dia lewati. Arga yang
lumpuh tapi, sepertinya dia tak ingin hanya berdiam diri sehingga dia belajar
untuk berjalan agar dia kembali normal dan banyak hal-hal yang meurutku sepele
tapi menjadi cita-cita banyak orang disini.
“Aku tinggal dulu ya? Kau boleh melihat-lihat sekitar sini,
bertemanlah bersama mereka, kau akan tahu nanti siapa dirimu” ujarnya sebelum
benar-benar pergi.
Setelah lama merasa bosan duduk termenung sendiri tanpa
teman, aku memutuskan untuk melihat-lihat aktivitas mereka, mulai dari bermain,
bercanda bahkan menyalurkan hobi. Meskipun mereka banyak kekurangan tapi mereka
tak pernah lelah untuk berusaha. Hingga akhirnya pandanganku menangkap sosok
gadis kecil dengan kanvas dan kuas di hadapannya. Perlahan aku mendekatinya dan
ingin tahu lebih jauh siapa sosok gadis kecil misterius ini.
“Hai, boleh kaka duduk disini” tanyaku sembari menunjuk
bangku kosong di sebelahnya. dia hanya tersenyum dan menganggukkan kepalanya.
“Lagi apa?” tanyaku lagi untuk mencoba akrab dengannya.
“Lagi ngelukis kak” ucanya lembut. “Nama kamu siapa?” tanyaku
lagi, karena memang entah kenapa aku ingin mengenalinya lebih jauh. “Rere”
jawabnya singkat tapi cukup untukku. “Rere lagi ngelukis apa?” tanyaku lebih
banyak.
“Cita-cita Rere” dahiku semakin mngernyit saat menatap kanvas
yang ada di hadapannya. Karena disana hanya ada torehan sebuah gambar taman
dengan anak-anak kecil yang bermain tapi, mengapa itu bisa menjadi
cita-citanya? Aneh, cuma itu sekarang yang aku tahu tentang dia.
“Cita-cita? Boleh kakak tahu kenapa Rere punya cita-cita itu?
Itu sangat sederhana sayang, kita tinggal pergi ke taman dan bermain-main
dengan mereka” ucapku menjelaskan. Dia menatapku sambil tersenyum.
“Bagi orang normal seperti kaka itu memang biasa, tapi bagiku
itu hal yag sangat membahagiakan, berlari sepuas mereka, bermain semau mereka,
sebenarnya bahagia itu sederhana yang penting kita bisa melakukan hal yang kita
suka dengan sendirinya kita akan merasa bahagia atas itu semua” diam, hanya itu
yang dapat kulakukan sekarang bagaimana bisa gadis sekecil dia bisa mengerti
kehidupan sedangkan aku hanya bisa menyalahkan dunia.
“kamu bisa kok seperti mereka, toh kamu baik-baik saja kan?”
tanyaku selanjutnya
“Aku menderita leukimia kak, terkadang jika aku merasa
sedikit lelah kaki dan tanganku tiba-tiba akan lumpuh meskipun hanya sementara
tapi, itu bisa jadi untuk selmanya aku tak akan bisa melakukan hal-hal yang
bisa kulakukan sekarang” ujarnya lagi.
Seketika aku diam dan tak berani mengatakan apapun. Gadis
kecil seperti dia harus menanggung beban hidup yang cukup berat? tapi, mengapa
dia mampu bertahan? Sedangkan aku? Normal, tapi tak mampu menahan semua beban
hidup. Cita-citanya sangat sederhana akan tetapi karena cita-citanya itulah
yang membuat mereka mampu bertahan hingga saat ini. Dan baru kali ini aku sadar
bahwa cita-cita bukan hanyalah sekedar profesi belaka yang ingin dijalani
kelak, tapi bisa jadi cita-cita adalah sebuah harapan tentang kehidupan atau
kegiatan yang ingin kita lakukan untuk kemudian hari. Tak seharusnya aku
menyamakan hari ini dengan hari kemarin karena yang seharusnya aku lakukan
adalah menjadikan hari kemarin sebagai pembelajaran, menjalani hari ini, dan
berfikir untuk menjalani hari esok agar semua cita-cita dapat dicapai sesuai
dengan keinginan.
0 komentar:
Posting Komentar