skip to main | skip to sidebar
Imam Purwanto

  • Beranda
  • Artikel
  • Cerpen
  • MotoGp
  • Futsal
  • Lirik Lagu
  • Teknik Industri
  • UG
  • About Me
RSS
  • "Welcome to my Blog''

    SELAMAT DATANG DI BLOG IMAM PURWANTO

    About Me

    Imam Purwanto
    Lihat profil lengkapku

    SALAM INDUSTRI

    SALAM INDUSTRI
    Logo Teknik Industri

    TIME

    Search

    Link Gunadarma














    ANIMAL


    adopt  your own virtual pet! Nama        : Imam Purwanto
    1ID02
    35414222

    Cerpen Manusia dan Tanggung Jawab

    Sekar mahardhika

    Kisah Tanggung Jawab Seorang Anak

                Di Propinsi Zhejiang China, ada seorang anak laki-laki yang luar biasa, sebut saja namanya Zhang Da. Perhatiannya yang besar kepada Papanya, hidupnya yang pantang menyerah dan mau bekerja keras, serta tindakan dan perkataannya yang menyentuh hati membuat Zhang Da, anak lelaki yang masih berumur 10 tahun ketika memulai semua itu, pantas disebut anak yang luar biasa. Saking jarangnya seorang anak yang berbuat demikian, sehingga ketika Pemerintah China mendengar dan menyelidiki apa yang Zhang Da perbuat maka merekapun memutuskan untuk menganugerahi penghargaan Negara yang Tinggi kepadanya. Zhang Da adalah salah satu dari sepuluh orang yang dinyatakan telah melakukan perbuatan yang luar biasa dari antara 1,4 milyar penduduk China. Tepatnya 27 Januari 2006 Pemerintah China, di Propinsi Jiangxu, kota Nanjing, serta disiarkan secara Nasional keseluruh pelosok negeri, memberikan penghargaan kepada 10 (sepuluh) orang yang luar biasa, salah satunya adalah Zhang Da.
                Mengikuti kisahnya di televisi, membuat saya ingin menuliskan cerita ini untuk melihat semangatnya yang luar biasa. Bagi saya Zhang Da sangat istimewa dan luar biasa karena ia termasuk 10 orang yang paling luar biasa di antara 1,4 milyar manusia. Atau lebih tepatnya ia adalah yang terbaik diantara 140 juta manusia. Tetapi jika kita melihat apa yang dilakukannya dimulai ketika ia berumur 10 tahun dan terus dia lakukan sampai sekarang (ia berumur 15 tahun), dan satu-satunya anak diantara 10 orang yang luarbiasa tersebut maka saya bisa katakan bahwa Zhang Da yang paling luar biasa di antara 1,4 milyar penduduk China.
                Pada waktu tahun 2001, Zhang Da ditinggal pergi oleh Mamanya yang sudah tidak tahan hidup menderita karena miskin dan karena suami yang sakit keras. Dan sejak hari itu Zhang Da hidup dengan seorang Papa yang tidak bisa bekerja, tidak bisa berjalan, dan sakit-sakitan. Kondisi ini memaksa seorang bocah ingusan yang waktu itu belum genap 10 tahun untuk mengambil tanggungjawab yang sangat berat. Ia harus sekolah, ia harus mencari makan untuk Papanya dan juga dirinya sendiri, ia juga harus memikirkan obat-obat yang yang pasti tidak murah untuk dia. Dalam kondisi yang seperti inilah kisah luar biasa Zhang Da dimulai. Ia masih terlalu kecil untuk menjalankan tanggung jawab yang susah dan pahit ini. Ia adalah salah satu dari sekian banyak anak yang harus menerima kenyataan hidup yang pahit di dunia ini. Tetapi yang membuat Zhang Da berbeda adalah bahwa ia tidak menyerah.
                Hidup harus terus berjalan, tapi tidak dengan melakukan kejahatan, melainkan memikul tanggung jawab untuk meneruskan kehidupannya dan papanya. Demikian ungkapan Zhang Da ketika menghadapi utusan pemerintah yang ingin tahu apa yang dikerjakannya. Ia mulai lembaran baru dalam hidupnya dengan terus bersekolah. Dari rumah sampai sekolah harus berjalan kaki melewati hutan kecil. Dalam perjalanan dari dan ke sekolah itulah, Ia mulai makan daun, biji-bijian dan buah-buahan yang ia temui. Kadang juga ia menemukan sejenis jamur, atau rumput dan ia coba memakannya. Dari mencoba-coba makan itu semua, ia tahu mana yang masih bisa ditolerir oleh lidahnya dan mana yang tidak bisa ia makan. Setelah jam pulang sekolah di siang hari dan juga sore hari, ia bergabung dengan beberapa tukang batu untuk membelah batu-batu besar dan memperoleh upah dari pekerjaan itu. Hasil kerja sebagai tukang batu ia gunakan untuk membeli beras dan obat-obatan untuk papanya. Hidup seperti ini ia jalani selama lima tahun tetapi badannya tetap sehat, segar dan kuat.
                ZhangDa Merawat Papanya yang Sakit. Sejak umur 10 tahun, ia mulai tanggungjawab untuk merawat papanya. Ia menggendong papanya ke WC, ia menyeka dan sekali-sekali memandikan papanya, ia membeli beras dan membuat bubur, dan segala urusan papanya, semua diakerjakan dengan rasa tanggungjawab dan kasih. Semua pekerjaan ini menjadi tanggungjawabnya sehari-hari. Zhang Da menyuntik sendiri papanya. Obat yang mahal dan jauhnya tempat berobat membuat Zhang Da berpikir untuk menemukan cara terbaik untuk mengatasi semua ini. Sejak umur sepuluh tahun ia mulai belajar tentang obat-obatan melalui sebuah buku bekas yang ia beli. Yang membuatnya luar biasa adalah ia belajar bagaimana seorang suster memberikan injeksi/suntikan kepada pasiennya. Setelah ia rasa ia mampu, ia nekad untuk menyuntik papanya sendiri. Saya sungguh kagum, kalau anak kecil main dokter-dokteran dan suntikan itu sudah biasa. Tapi jika anak 10 tahun memberikan suntikan seperti layaknya suster atau dokter yang sudah biasa memberi injeksi saya baru tahu hanya Zhang Da. Orang bisa bilang apa yang dilakukannya adalah perbuatan nekad, sayapun berpendapat demikian. Namun jika kita bisa memahami kondisinya maka saya ingin katakan bahwa Zhang Da adalah anak cerdas yang kreatif dan mau belajar untuk mengatasi kesulitan yang sedang ada dalam hidup dan kehidupannya. Sekarang pekerjaan menyuntik papanya sudah dilakukannya selama lebih kurang lima tahun, maka Zhang Da sudah trampil dan ahli menyuntik.
                Aku Mau Mama Kembali. Ketika mata pejabat, pengusaha, para artis dan orang terkenal yang hadir dalam acara penganugerahan penghargaan tersebut sedang tertuju kepada Zhang Da, Pembawa Acara (MC) bertanya kepadanya, “Zhang Da, sebut saja kamu mau apa, sekolah di mana, dan apa yang kamu rindukan untuk terjadi dalam hidupmu, berapa uang yang kamu butuhkan sampai kamu selesai kuliah, besar nanti mau kuliah di mana, sebut saja. Pokoknya apa yang kamu idam-idamkan sebut saja, di sini ada banyak pejabat, pengusaha, orang terkenal yang hadir. Saat ini juga ada ratusan juta orang yang sedang melihat kamu melalui layar televisi, mereka bisa membantumu!” Zhang Da pun terdiam dan tidak menjawab apa-apa. MC pun berkata lagi
    kepadanya, “Sebut saja, mereka bisa membantumu” Beberapa menit Zhang Da masih diam, lalu dengan suara bergetar iapun menjawab, “Aku Mau Mama Kembali. Mama kembalilah ke rumah, aku bisa membantu Papa, aku bisa cari makan sendiri, Mama Kembalilah!” demikian Zhang Da bicara dengan suara yang keras dan penuh harap.
                Saya bisa lihat banyak pemirsa menitikkan air mata karena terharu, saya pun tidak menyangka akan apa yang keluar dari bibirnya. Mengapa ia tidak minta kemudahan untuk pengobatan papanya, mengapa ia tidak minta deposito yang cukup untuk meringankan hidupnya dan sedikit bekal untuk masa depannya, mengapa ia tidak minta rumah kecil yang dekat dengan rumah sakit, mengapa ia tidak minta sebuah kartu kemudahan dari pemerintah agar ketika ia membutuhkan, melihat kata belece yang dipegangnya semua akan membantunya. Sungguh saya tidak mengerti, tapi yang saya tahu apa yang dimintanya, itulah yang paling utama bagi dirinya. Aku Mau Mama Kembali, sebuah ungkapan yang mungkin sudah dipendamnya sejak saat melihat mamanya pergi meninggalkan dia dan papanya.

    Cerpen Manusia dan Pandangan Hidup

                Sore yang indah, ditemani oleh bunyi ombak dan semilir angin yang kian beriringan dengan suara daun kelapa yang tak mau berhenti untuk melambai. Suasana tenang disini setidaknya dapat mengurangi rasa penatku. Kudengar decitan kursi roda yang makin lama kian mendakatiku. Kulihat sosok yang memang akhir-akhir ini sering bersamaku di tempat ini. Aku sangat bingung jika melihat ekspresi wajahnya terkadang dia terlihat sangat tenang dan terkadang dia terlihat datar.
    “Apa hari ini kau baik-baik saja?” tanyaku padanya karena memang dia adalah sosok yang sangat sulit ditebak, bukannya jawaban yang kudapat tapi hanya senyum kecil yang mengembang di bibirnya. Aku semakin bingung dengan semua tingkahnya, sangat aneh bagiku karena memang dia sosok yang pendiam tak banyak kata yang dia lontarkan untukku.
    “Disini sangat tenang, aku menyukainya” ucapku menceracau sendiri, inilah kebiasaanku setiap bertemu dengannya meskipun tak ada satupun respon darinya tapi aku tahu bahwa dia mendengarkanku dan mengerti apa yang ku mau.
    “Hari ini sama seperti hari-hariku sebelumnya, tak ada yang istimewa ataupun terkesan semuanya sama dan kau tau bukan hariku selalu berakhir disini bersama senja, berakhir dengan gambar-gambar yang hanya bisa menemani sesaat” ucapku padanya, dia menoleh dan tersenyum padaku.
    “Mengapa kau selalu berkata bahwa hari ini selalu sama seperti hari kemarin?” ujarnya lembut tapi terkesan sangat dingin.
    “ya, karena menurutku semuanya sama, tak ada apapun yang berkesan” jawabku tanpa menatapnya.
    “Itu semua karena ulahmu sendiri yang tak pernah mau tau kan indahnya kehidupan” Ujarnya seraya menatapku. Entah angin dari mana yang telah membawanya untuk bercakap denganku, biasanya hanya aku yang berbicara sendiri.
    “Aku?” tanyaku seraya membenarkan posisi dudukku untuk menghadapnya. Jujur aku paling tak suka disalahkan atas kekejaman dunia karena menurutku tak ada yang salah pada diriku hanya saja dunia ini yang terlalu kejam untuk kupijaki.
    “ya, dirimu sendiri” ucapnya menatapku, aku mendongakkan kepalaku dan mengernyitkan dahi atas pernyataannya.
    “Apa yang salah denganku? Aku hanya ingin hidup bahagia di dunia yang kejam ini tapi nyatanya semua sama saja kan? Tak ada yang indah” ucapku sedikit emosi karena bisa-bisanya dia menyalahkanku.
    “Gracia, sekarang coba kamu fikir apa yang telah kamu perbuat atas kehidupan kamu? Apa kamu merasa bahagia dengan itu semua?” tanyanya lagi dan semakin manatapku intens. Sepertinya dia benar-benar lelah mendengarkan ucapan yang sama selalu terlontar dari bibirku.
    “ya, karena menurutku itu yang terbaik Rey” suaraku sedikit meninggi kali ini karena memang telingaku semakin panas karena perkataannya.
    “Berarti, kau belum mengenali dirimu sendiri” ujarnya santai seraya melempar pandang pada laut lepas yang meyajikan pertunjukan yang sangat sayang untuk dilewatkan.
    “Mengenali diri sendiri? Bukankah kita hidup untuk mnegenali orang lain?” tanyaku semakin menjadi.
    “Seharusnya..” dia menghela nafas sebelum melanjutkan perkataannya,
    “Seharusnya apa?” ucapku penasaran dengan apa yang akan dikatakannya
    “Seharusnya, sebelum kau ingin tahu siapa orang lain, kau harus bisa mengenali siapa dirimu? Sehingga kau dengan mudah menyesuaikan dengan siapa kau harus tahu? Apa yang bisa membuatmu bahagia? Keinginan apa yang benar-benar ingin kamu miliki?” ucapnya dengan tatapan datar dan tetap lurus menghadap ombak. “Apa kau memiliki cita-cita?” tanyanya kemudian.
     “Ada, bukankah kita hidup untuk mencapai cita-cita? Dan itu yang bisa buat kita bangga bukan?” tanyaku penuh selidik.
    “Apa yang kau ketahui tentang cita-cita?” tanyanya lagi. Entah, sekarang aku tak merasa emosi ketika dia berbicara jika difikir benar juga, dunia akan kejam jika kita tak pandai menyesuaikannya.
    “Cita-cita? Itu sebuah harapan yang menujukan dirinya untuk menjadi seseorang yang dia ingini” jawabku menatapnya. “Seperti?” tanyanya lagi
    “Seperti menjadi guru, dokter, author, fotographer, ya pokoknya yang berhubungan dengan profesi” ujarku santai.
    “Kurang tepat” ucapnya seraya melempar pandangan dan senyum kepadaku.
    “Salah lagi? Kenapa ucapanku tak ada satupun yang benar di telingamu” ucapku sebal.
    “aku kan tidak mengatakan bahwa kau salah, tapi aku berkata kau kurang tepat Gracia” ujarnya seraya mencubit pipiku dengan gemas.
    “Sama saja Rey” ujarku. “Ikut aku” ucapnya mengajakku untuk ke suatu tempat.
    “Nanti saja aku masih ingin mengabadikan senja disini” ucapku dengan nada memohon.
    “Tidak, sudah cukup kau mengabadikannya sejak minggu kemarin, apa kau tak kasian melihat kameramu yang jengah karena kau selalu menyuruhnya untuk mnegabadikan senja” ujarnya seraya menarik pergelangan tanganku untuk mendorong kursi rodanya.
    “ok” ucapku pasrah. Entah akan dibawanya kemana diriku ini, aku hanya mengikuti instruksinya saat berjalan, memang selama perjalanan tak ada obralan penting hanya saja cuap-cuap yang menunjukkan jalan untuk ke tempat yang akan dia tunjukkan padaku.
    “Sampai” ujarnya. Rumah yang tak terlalu mewah tapi berukuran cukup besar yang telah ada di hadapanku sekarang. Jujur, aku sangat bingung banyak sekali orang yang menghuni tempat ini. Tapi disini ada yang berbeda, Ya.. hampir semua orang yang tinggal disini adalah mereka-mereka yang tidak seberuntung diriku.
    “Mereka siapa mengapa banyak sekali yang menghuni tempat ini?” Tanyaku seraya menjajari posisinya yang tengah ada di kursi roda miliknya.
    “ayo, akan kutunjukkan kau betapa banyak cita-cita yang ada disini bukan hanya sekedar profesi belaka” ucapnya seraya menjalankan kursi rodanya. Aku segera bangkit dan menyusulnya, tak jarang dia disapa oleh penghuni disini. Sungguh, aku tak kuasa berada di tempat ini. Hidup dengan banyak kekurangan tapi mereka masih bisa bertahan hanya itu yang sedari tadi mengelilingi otakku.
                Di sepanjang perjalananku mengelilingi rumah ini, Rey banyak bercerita tentang Rista yang tunanetra tapi dia berusaha untuk mengahafal semua yang pernah dia lewati. Arga yang lumpuh tapi, sepertinya dia tak ingin hanya berdiam diri sehingga dia belajar untuk berjalan agar dia kembali normal dan banyak hal-hal yang meurutku sepele tapi menjadi cita-cita banyak orang disini.
    “Aku tinggal dulu ya? Kau boleh melihat-lihat sekitar sini, bertemanlah bersama mereka, kau akan tahu nanti siapa dirimu” ujarnya sebelum benar-benar pergi.
    Setelah lama merasa bosan duduk termenung sendiri tanpa teman, aku memutuskan untuk melihat-lihat aktivitas mereka, mulai dari bermain, bercanda bahkan menyalurkan hobi. Meskipun mereka banyak kekurangan tapi mereka tak pernah lelah untuk berusaha. Hingga akhirnya pandanganku menangkap sosok gadis kecil dengan kanvas dan kuas di hadapannya. Perlahan aku mendekatinya dan ingin tahu lebih jauh siapa sosok gadis kecil misterius ini.
    “Hai, boleh kaka duduk disini” tanyaku sembari menunjuk bangku kosong di sebelahnya. dia hanya tersenyum dan menganggukkan kepalanya.
    “Lagi apa?” tanyaku lagi untuk mencoba akrab dengannya.

    “Lagi ngelukis kak” ucanya lembut. “Nama kamu siapa?” tanyaku lagi, karena memang entah kenapa aku ingin mengenalinya lebih jauh. “Rere” jawabnya singkat tapi cukup untukku. “Rere lagi ngelukis apa?” tanyaku lebih banyak.
    “Cita-cita Rere” dahiku semakin mngernyit saat menatap kanvas yang ada di hadapannya. Karena disana hanya ada torehan sebuah gambar taman dengan anak-anak kecil yang bermain tapi, mengapa itu bisa menjadi cita-citanya? Aneh, cuma itu sekarang yang aku tahu tentang dia.
    “Cita-cita? Boleh kakak tahu kenapa Rere punya cita-cita itu? Itu sangat sederhana sayang, kita tinggal pergi ke taman dan bermain-main dengan mereka” ucapku menjelaskan. Dia menatapku sambil tersenyum.
    “Bagi orang normal seperti kaka itu memang biasa, tapi bagiku itu hal yag sangat membahagiakan, berlari sepuas mereka, bermain semau mereka, sebenarnya bahagia itu sederhana yang penting kita bisa melakukan hal yang kita suka dengan sendirinya kita akan merasa bahagia atas itu semua” diam, hanya itu yang dapat kulakukan sekarang bagaimana bisa gadis sekecil dia bisa mengerti kehidupan sedangkan aku hanya bisa menyalahkan dunia.
    “kamu bisa kok seperti mereka, toh kamu baik-baik saja kan?” tanyaku selanjutnya
    “Aku menderita leukimia kak, terkadang jika aku merasa sedikit lelah kaki dan tanganku tiba-tiba akan lumpuh meskipun hanya sementara tapi, itu bisa jadi untuk selmanya aku tak akan bisa melakukan hal-hal yang bisa kulakukan sekarang” ujarnya lagi.
    Seketika aku diam dan tak berani mengatakan apapun. Gadis kecil seperti dia harus menanggung beban hidup yang cukup berat? tapi, mengapa dia mampu bertahan? Sedangkan aku? Normal, tapi tak mampu menahan semua beban hidup. Cita-citanya sangat sederhana akan tetapi karena cita-citanya itulah yang membuat mereka mampu bertahan hingga saat ini. Dan baru kali ini aku sadar bahwa cita-cita bukan hanyalah sekedar profesi belaka yang ingin dijalani kelak, tapi bisa jadi cita-cita adalah sebuah harapan tentang kehidupan atau kegiatan yang ingin kita lakukan untuk kemudian hari. Tak seharusnya aku menyamakan hari ini dengan hari kemarin karena yang seharusnya aku lakukan adalah menjadikan hari kemarin sebagai pembelajaran, menjalani hari ini, dan berfikir untuk menjalani hari esok agar semua cita-cita dapat dicapai sesuai dengan keinginan.

    • Digg
    • Del.icio.us
    • StumbleUpon
    • Reddit
    • RSS
    Diposting oleh Imam Purwanto
    Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Bagikan ke XBerbagi ke Facebook

    0 komentar:

    Posting Komentar

    Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda
    Langganan: Posting Komentar (Atom)
Copyright 2011 Imam Purwanto.All rights reserved. Powered by Blogger
Luggage, Scenic Spots, Las Vegas Hotel Brands, SharePoint Online.
Design Downloaded from free Blogger templates | free website templates | Seodesign.us | Funny Sport Videos.